Rabu, 21 Maret 2012

Apa Itu Girik ?


Tanah girik merupakan istilah populer dari tanah adat atau tanah-tanah lain yang belum di konversi menjadi salah satu tanah hak tertentu (seperti hak milik, hak guna bangunan, hak pakai, hak guna usaha) dan belum didaftarkan atau disertifikatkan pada Kantor Pertanahan setempat. Tanah girik atau tanah bekas hak milik adat ini merupakan tanah yang dikuasai masyarakat dalam keadaan belum bersertifikat, oleh karenanya ditandai dengan surat girik. Di desa, bukti kepemilikan hak atas tanah tersebut dikenal dengan petuk pajak, yakni seperti dalam bentuk girik, ketitir, pipil, petok D, rincik, dan lain-lain. Sedangkan untuk tanah hak milik adat yang berada di kota besar disebut dengan verponding Indonesia. Meskipun demikian, surat-surat tersebut bukanlah merupakan bukti kepemilikan hak atas tanah melainkan hanya sebagai bukti pembayaran pajak atas tanah, yang saat ini dikenal dengan sebutan bukti pembayaran pajak.
Peralihan hak atas tanah girik tersebut biasanya dilakukan dari tangan ke tangan, dimana semula bisa berbentuk tanah yang sangat luas, dan kemudian di bagi-bagi atau dipecah-pecah menjadi beberapa bidang tanah yang lebih kecil. Peralihan hak atas tanah girik tersebut biasanya dilakukan di hadapan Lurah atau kepala desa. Namun demikian, banyak juga yang hanya dilakukan berdasarkan kepercayaan dari para pihak saja, sehingga tidak ada surat-surat apapun yang dapat digunakan untuk menelusuri kepemilikannya. Terhadap tanah-tanah tersebut pun masih dapat dilakukan jual beli, yakni melalui jual beli yang dilakukan dihadapan PPAT dengan penadatanganan Akta Jual Beli (AJB) atau melalui permohonan pendaftaran tanah untuk pertama kali ke kantor pertanahan kabupaten/kotamadya. Adapun syarat-syarat dalam melakukan permohonan pendaftaran sertifikat akan dijelaskan sebagai berikut :
  1. Bukti pembayaran pajak atas surat girik, petuk pajak bumi, pipil atau ketitir;
  2. Surat perolehan tanah, seperti Akta Jual Beli (AJB) bilamana terjadi jual beli tanah, keterangan waris, ataupun hibah;
  3. Kuitansi jual beli;
  4. Surat keterangan riwayat tanah;
  5. Surat pernyataan bahwa tanah tersebut tidak dalam sengketa;
  6. Identitas pemohon hak atas tanah, seperti KTP, Kartu Keluarga, Akta Pendirian Badan Hukum;
  7. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang dan Surat Tanda Terima Setoran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), biasanya sepuluh tahun terakhir;
  8. Bukti bayar Bea Perolehan Hak atas Tanah/Bangunan (BPHTB);
  9. Surat permohonan pengukuran tanah, dan formulir ini dapat diperoleh di kantor pertanahan setempat;
  10. Surat Kuasa bermaterai jika pengurusan sertifikat dikuasakan kepada orang lain;
  11. Surat pernyataan pemasangan tanda batan, dan formulir ini dapat diperoleh di kantor pertanahan setempat.
Dalam waktu 60 (enam puluh) hari, maka kantor pertanahan setempat akan mempublikasikan data fisik dan data yuridis tanah yang bersangkutan di kantor pertanahan dan kantor desa/kelurahan setempat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar