Tanah
girik merupakan istilah populer dari tanah adat atau tanah-tanah lain yang
belum di konversi menjadi salah satu tanah hak tertentu (seperti hak milik, hak
guna bangunan, hak pakai, hak guna usaha) dan belum didaftarkan atau
disertifikatkan pada Kantor Pertanahan setempat. Tanah girik atau tanah bekas
hak milik adat ini merupakan tanah yang dikuasai masyarakat dalam keadaan belum
bersertifikat, oleh karenanya ditandai dengan surat girik. Di desa, bukti
kepemilikan hak atas tanah tersebut dikenal dengan petuk pajak, yakni seperti
dalam bentuk girik, ketitir, pipil, petok D, rincik, dan lain-lain. Sedangkan
untuk tanah hak milik adat yang berada di kota besar disebut dengan verponding
Indonesia. Meskipun demikian, surat-surat tersebut bukanlah merupakan bukti
kepemilikan hak atas tanah melainkan hanya sebagai bukti pembayaran pajak atas
tanah, yang saat ini dikenal dengan sebutan bukti pembayaran pajak.
Peralihan
hak atas tanah girik tersebut biasanya dilakukan dari tangan ke tangan, dimana
semula bisa berbentuk tanah yang sangat luas, dan kemudian di bagi-bagi atau
dipecah-pecah menjadi beberapa bidang tanah yang lebih kecil. Peralihan hak
atas tanah girik tersebut biasanya dilakukan di hadapan Lurah atau kepala desa.
Namun demikian, banyak juga yang hanya dilakukan berdasarkan kepercayaan dari
para pihak saja, sehingga tidak ada surat-surat apapun yang dapat digunakan
untuk menelusuri kepemilikannya. Terhadap tanah-tanah tersebut pun masih dapat
dilakukan jual beli, yakni melalui jual beli yang dilakukan dihadapan PPAT
dengan penadatanganan Akta Jual Beli (AJB) atau melalui permohonan pendaftaran
tanah untuk pertama kali ke kantor pertanahan kabupaten/kotamadya. Adapun
syarat-syarat dalam melakukan permohonan pendaftaran sertifikat akan dijelaskan
sebagai berikut :
- Bukti pembayaran pajak atas surat girik, petuk pajak bumi, pipil atau ketitir;
- Surat perolehan tanah, seperti Akta Jual Beli (AJB) bilamana terjadi jual beli tanah, keterangan waris, ataupun hibah;
- Kuitansi jual beli;
- Surat keterangan riwayat tanah;
- Surat pernyataan bahwa tanah tersebut tidak dalam sengketa;
- Identitas pemohon hak atas tanah, seperti KTP, Kartu Keluarga, Akta Pendirian Badan Hukum;
- Surat Pemberitahuan Pajak Terutang dan Surat Tanda Terima Setoran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), biasanya sepuluh tahun terakhir;
- Bukti bayar Bea Perolehan Hak atas Tanah/Bangunan (BPHTB);
- Surat permohonan pengukuran tanah, dan formulir ini dapat diperoleh di kantor pertanahan setempat;
- Surat Kuasa bermaterai jika pengurusan sertifikat dikuasakan kepada orang lain;
- Surat pernyataan pemasangan tanda batan, dan formulir ini dapat diperoleh di kantor pertanahan setempat.
Dalam
waktu 60 (enam puluh) hari, maka kantor pertanahan setempat akan
mempublikasikan data fisik dan data yuridis tanah yang bersangkutan di kantor
pertanahan dan kantor desa/kelurahan setempat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar