(Bagian Pertama)
Ia pembaharu tasawuf dan filsafat dalam Islam. Gagasan dan karya-karya Hujatul Islam ini, menjadi rujukan sampai sekarang.
Dalam rak-rak di sebuah toko buku,
tampak berjejer buku-buku tentang sufi. Tetapi ada hal yang mencolok.
Buku-buku karya Al-Ghazali begitu dominan. Hampir dua puluh buku karya
ulama besar ini banyak diminati calon pembeli. Karya Imam Al-Ghazali
memang menarik. Tulisannya tidak hanya memikat, tetapi juga selalu
aktual sepanjang zaman. Tidak salah jika gagasan dan pikirannya tentang
Tasawuf banyak diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Imam Ghazali
adalah ulama yang mampu mendiskripsikan tasawuf, syari’at dan Akhlak
dengan jelas dan argumentatif.
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid ibnu Muhammad ibnu Ahmad, lahir di Khurasan, Iran, pada tahun 450 H atau 1058 M. Karya masterpiece-nya Ihya Ulumuddin
yang empat jilid itu menjadi bacaan wajib bagi orang-orang yang ingin
belajar tasawuf. Ia hidup dalam keluarga yang sangat taat beragama.
Ayahnya yang berasal dari desa Ghazalah adalah seorang pemintal Wool.
Nama desa inilah yang kelak menjadi nama sebutan bagi anaknya, Abu
Hamid, yaitu Ghazali.
Sejak
kecil sudah tampak tekadnya yang kuat untuk mendalami ilmu-ilmu agama.
Mula-mula ia belajar kepada Ahmad ibnu Muhammad al-Razhani al-Thusi.
Setelah merasa cukup, ia melanjutkan studi ke Kota Jurjan, belajar di
sekolah yang dipimpin oleh intelektual terkenal saat itu, Abu Nash
al-Ismail. Selain itu ia juga belajar kepada sufi besar Syekh Yusuf
al-Nasaj (wafat 487 H).
Rasa haus akan ilmu membawanya
melanglang buana ke berbagai kota. Ia sempat belajar kepada Abu Maal
al-juwaini di Naisyaburi yang tersohor karena mendapat julukan Imam
al-Haramain. Di Naisyaburi, ia juga belajar Tasawuf kepada Syekh Abu Ali
al-Fadhl ibnu Muhammad ibnu Ali Farmadi. Di Naisyaburi inilah
kepiawaiannya mulai dikenal orang. Ia tidak hanya berguru, tetapi juga
sudah menulis dan memberi beberapa kajian fikih.
Setelah Imam Juwaini wafat, Al-Ghazali
melanjutkan studinya ke Kota Muaskar. Di sinilah segala pergumulan
intelektual ia lalui dengan prestasi cemerlang.. karena prestasinya ia
diangkat sebagai guru besar sebuah perguruan tingg bergengsi
Al-Nidzomiyah di Bagdd pada tahun 484 H. di sini ia mengajar sambil
memperdalam kajian filsafat Yunani dan Islam.
Di tengah hidupnya yang mapan, jiwanya
guncang, ketika muncul pertanyaan-pertanyaan filosofis di benaknya:
Apakah pengetahuan yang hakiki itu?, pengetahuan dapat diperoleh melalui
indra atau akal? Hampir dua bulan pertanyaan-pertanyaan filosofis itu
sempat membuatnya linglung. Belakangan problem filosofis ini ia bahas
dalam kitab: Al-Munqiz min al-dzalal. Dalam kitab itu ia memperoleh
jawaban: jalan sufilah satu-satunya jalan untuk mendapatkan kebenaran
hakiki.
Mempersiapkan Batin
Ia menulis, “Setelah itu perhatianku
kupusatkan pada jalan sufi. Ternyata jalan sufi tidak dapat ditempuh
kecuali dengan jalan ilmu dan amal, dengan menempuh tanjakan-tanjakan
batin dan penyucian diri. Hal itu perlu untuk mempersiapkan batin,
kemudian mengisinya dengan dzikir kepada Allah. Bagiku, ilmu lebih mudah
daripada amal. Maka segeralah aku mulai mempelajari ilmu dari beberapa
kitab, antara lain, Qut’al Qulub, karya Abu Thalib al-Makki, juga beberapa kitab karya Haris Al-Muhasibi, serta ucapan-ucapan Junaid al-Bagdadi, Al-Syibli, Abu Yazid al-Bustami dan lain-lain.
Ghazali melanjutkan tulisannya
”Penjelasan lebih jauh terdengar sendiri dari lisan mereka. Jelas pula
bagiku, hal-hal yang khusus bagi mereka hanya dapat dicapai dengan Dzauq
(perasaan), pengalaman dan perkembangan batin sangat jauh memaknai
sehat atau kenyang dengan mengalaminya sendiri. Mengalami “mabuk” lebih
jelas daripada hanya mendengar keterangan tentang arti “mabuk”. Padahal
yang mengalaminya mungkin belum pernah mendengar keterangan tentang itu.
Dokter yang sedang sakit lebih banyak mengetahui tentang cara agar dia
tetap sehat, tetapi dia sedang tidak sehat. Mengetahui arti dan syarat
zuhud tidak sama dengan bersifat “Zuhud”.
Ketika Ghazali tengah asyik berpikir secara filosofis, pada saat yang sama ia hidup berkecukupan. Tetapi justru situasi ini membuatnya guncang. Hampir enam bulan ia terombang-ambing antara memperhatikan persoalan duniawi dan ukhrawi. Ketika itulah, mendadak pada tahun 488 H atau 1095 M ia memutuskan pergi dari Bagdad menuju Damaskus – untuk mencari ketenangan dan kesejatian hidup. Ia tinggal di Masjid Umawi bersama sufi. Pernah selama beberapa bulan ia melakukan itikaf di Menara masjid, Riyadhah dan Mujahadah juga dikerjakannya hampir setiap hari.
Tak lama kemudian ia beranjak dari
Damaskus menuju Palestina. Di Baitul Maqdis, Palestina, setiap hari ia
bermunajat kepada Allah SWT. Di Qubah Asy-Syakhrah – gua di bawah batu
cadas di tengah masjid tempat para nabi bermunajat. Semua pintu ia
kunci, sehingga tidak ada yang mengganggunya. Setelah itu ia mengunjungi
kota al-Khalil dan berziarah ke makam nabi Ibrahim. Setelah merasa
cukup melakukan perjalanan rohaniyah, ia menuju Hijaz, (kini Arab
Saudi), untuk menunaikan ibadah haji di Mekah dan berziarah ke makam
Rasulullah SAW di Madinah.
Setelah menunaikan rukun Islam yang
kelima, ia pergi ke Iskandariyah, Mesir dan tinggal beberapa lama di
kota pelabuhan itu. Tetapi berkali-kali perguruan tinggi Nidzamiyah
memanggilnya. Akhirnya ia kembali ke Baghdad untuk mengajar. Namun baru
beberapa bulan tinggal di sana, ia tidak betah. Maka pergilah ia ke Thus
mendirikan sebuah Madrasah bernama Khanaqah untuk memperdalam tasawuf.
Di sana pula ia wafat pada usia 55 tahun pada tahun 1111 M atau 505 H.
( http://www.sufiz.com/jejak-wali/imam-ghazali-filsuf-besar-dan-sufi-brilian-berilmu-tinggi.html )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar