Bagi Ghazali, tasawuf merupakan himpunan antara akidah, syariat dan akhlak. Baginya perjalanan spritual seseorang mampu menjernihkan hati secara berkesinambungan sehingga mencapai tingkat Musyahadah (kesaksian).
Menurut
Ghazali, kehidupan seorang muslim tidak dapat dicapai dengan sempurna
kecuali dengan mengikuti jalan Allah yang di lalui secara bertahap.
Tahapan itu antara lain tobat, sabar, kefakiran, zuhud, tawakal, cinta
dan makrifat. Setelah ketujuh tahapan itu, manusia memperoleh Ridla.
Oleh karena itu seseorang yang mempelajari taawuf wajib mendidik
jiwanya. Lebih dari itu juga harus mendidik akhlaknya. Menurut dia, hati
adalah cermin yang sanggup manangkap makrifat. Kesanggupan itu terletak
pada hati yang jernih dan suci.
Setiap karya Ghazali mempunyai keunikan tersendiri dengan gagasan-gagasan yang orsinil. Tidak kurang dari 228 kitab ditulisnya, meliputi berbagai disiplin ilmu, anatara lain, tasawuf, Fikih, Teologi, Logika, dan Filsafat.
Di antara karya-karyanya adalah “Ihya
Ulumuddin, Bidayat al-Hidayah, Misykat al-Anwar, Minhaj al-Abidin ila
Jannati Rabbil Alamin, al-Munqidz min al-Dhalal, al-Arbain fi
Ushuluddin, dan lain-lain. Yang paling berbobot ialah Ihya
Ulumuddin, yang terdiri dari empat jilid, kitab ini memuat segudang
teori dan jalan yang harus ditempuh oleh mereka yang mendalami tasawuf.
Hingga kini kitab yang sangat monumental ini menjadi bacaan wajib di
beberapa pesantren salaf.
Jangan lupa, Ghazali bukan hanya pakar tasawuf, ia juga kampiun dalam ilmu filsafat. Dua karyanya di bidang Filsafat yang sangat mengagumkan ialah Tahafutu al-Falasifah dan Maqasishid al-Falasifah. Di zamannya belum ada seorang pun yang mampu dan berani mengkritik pemikiran para fisul dengan senjata logika. Maka layaklah jika mendapat julukan Hujjatul Islam atau tempat kaum muslimin merujuk ilmu agama.
Sayang, sebagian besar karya besar Imam
Ghazali yang sudah menjadi harta budaya dan khasanah intelektual itu
musnah dibakar oleh tentara mongol yang menyerbu Baghdad abad XIII,
sehingga yang tersisa tinggal 54 kitab. Kitab tafsirnya yang 40 jilid
ikut musnah. Bayangkan, betapa kaya khasanah intelektual kita andai
semua karya Hujjatul Islam masih utuh….!
Pujian dan Teguran Sang Adik
Banyak cerita menarik seputar Imam
Ghazali, yang paling terkenal ialah cerita tentang Ahmad, adiknya,
melalui jalan saudaranya inilah jalan tasawuf menjadi pilihan Ghazali.
Saking berterima kasihnya Ghazali mendedikasikan sebuah kitabnya, Madhunun bih Ala Ghairi Ahlih, untuk sang adik. Cerita tentang adik kakak ini sering diperdengarkan di pesantren-pesantren.
Alkisah, suatu hari Ghazali menjadi Imam
shalat di masjid, sementara adiknya menajdi makmum. Ketika itu adiknya
melihat tubuh sang kakak berdarah, maka ia pun membatalkan makmum kepada
kakaknya, dan meneruskan shalat sendiri. Usai shalat, Ghazali bertanya, “Mengapa kamu membatalkan makmum kepadaku?” jawab Ahmad, adiknya, “Aku melihat kanda penuh darah.”
Sejenak Ghazali termenung. “Memang dalam shalat saya sedang berpikir tentang persoalan haid.” Adik kandung Imam Ghazali memang dikenal sebagai ahli Kasyf, mampu melihat sesuatu yang tidak dapat dilihat oleh orang awam. Seketika itu Ghazali sadar tentang pentingnya dunia sufi. Dan kejadian inilah yang mendorongnya mendalami tasawuf.
Maka ia memutuskan untuk menjadikan
tasawuf sebagai jalan mengenal Allah – yang tujuan akhirnya disebut
makrifat. Menurut Ghazali, makrifat tidak hanya berarti mengenal Allah,
tetapi juga mengenal alam semesta. Makrifat bukan hanya pengenalan
biasa, meliankan juga ilmu yang tak diragukan kebenaranya, yang disebut Ainu al-Yaqin – tersingkapnya sesuatu secara jelas, tidak ada keraguan, tidak mungkin salah dan keliru.
Makrifat sebenarnya diperoleh melalui
llham. Allah memancarkan Nur ke dalam kalbu seseorang agar ia mengenali
hakikat Allah dan segala ciptaannya. Hanya kalbu yang bersihlah yang
bisa menerima Nur Ilahi. Apa syaratnya? Harus menyucikan diri dari dosa
dan tingkah laku tercela, membersihkan diri dari keyakinan selain
keyakinan kepada Allah. Kalbu harus total berdzikir kepada Allah
sehingga dapat mencapai fana (kesirnaan) secara total. Jika sudah mampu mencapai tahapan ini (maqamat), ia bisa mendapatkan mukasyafah (mampu menjawab persoalan) dan musyahadah (mampu melihat Allah dalam hati).
Banyak pujian dialamatkan kepadanya,
orientalis beken seperti H.A.R. Gibb menyejajarkan Imam Ghazali dengan
filsuf Nasrani ST Agustinus atau pembaharu Kristen Martin Luther. Gibb
menulis dalam sebuah bukunya, nama yang terkait dengan pembaharuan
pemahaman agama adalah Al-Ghazali, pembaharu agama yang sederajat dengan
St. Agustinus dan Martin Luther dalam pendangan keagamaan dan kemampuan
intelektual. Cerita tentang perjalanan spritualnya sungguh menawan hati
dan sangat bernilai. Bagaimana ia menemukan dirinya sendiri dalam
pemberontakannya melawan keruwetan para teolog yang berusaha mencari
realitas tertinggi lewat seluruh sistem keagamaan dan filsafat muslim
pada masanya.
Sementara menurut Samuel M. Zwemer,
ilmuwan asal Jerman dan peneliti dunia sufi, ada empat tokoh yang paling
besar jasanya terhadap Islam, yaitu Nabi Muhammad SAW, Imam Bukhari RA
yang berjasa dalam pengumpulan Hadits, Imam Asy’ari sebagai teolog
terbesar dan penentang rasionalisme, dan Imam Al-Ghazali sebagai sufi dan pembaharu.
Al-Ghazali telah meninggalkan pengaruh paling luas atas sejarah Islam dibanding siapapun setelah Nabi Muhammad SAW.
( http://www.sufiz.com/jejak-wali/imam-ghazali-40-jilid-kitabnya-musnah-dibakar-bagian-kedua-habis.html )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar